Rabu, 29 Januari 2020, menjadi hari istimewa bagi Ariel Wibisono. Perusahaan yang dibesutnya, PT Putra Rajawali Kencana Tbk., resmi mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI). Emiten bidang logistik dan transportasi ini menjadi emiten ke-8 yang melantai di BEI tahun ini. Adapun kode yang didapatnya: PURA.
Sebagai entitas usaha, perjalanan PURA tak lepas dari Grup Rajawali. Grup yang bergerak di bidang pengangkutan dan perdagangan tetes tebu (bahan baku gula) di wilayah Jawa Timur ini didirikan ayah Ariel pada 1978. Ariel mulanya bergabung dengan ayahnya pada 2004. Dia yang kala itu sedang kuliah Bisnis Internasional di Portland State University, Amerika Serikat, diminta pulang untuk membenahi perusahaan.
Tahun 2007, Ariel mengibarkan perusahaan sendiri, PT Rajawali Dwi Putra Indonesia, yang fokus pada bisnis pengangkutan dan pendistribusian komoditas food ingredients atau food grade jenis cair. Tahun 2012, bersama kakaknya, Yonathan Himawan Hendarto, Ariel mentrasformasi bisnisnya dari family business menjadi lebih profesional, mengibarkan PURA. “Saya menjadi dirut, kakak menjadi direktur, ayah komisaris,” katanya.
Setelah Joko Widodo menjadi Presiden RI (2014) dan fokus di pembangunan infrastruktur, Ariel melihat transportasi untuk barang-barang infrastruktur sangatlah potensial. Karena itu, PURA fokus di transportasi infrastruktur. Bermula dari 12 kendaraan, kini berkembang menjadi 155 kendaraan.
“Tiang pancang dan berbagai bahan untuk infrastruktur tol Bali, kami ikut terlibat dalam pengangkutannya. Demikian juga pembangunan di Kelok 9, serta bantalan rel pembangunan double track KAI,” cerita Ariel. Menurutnya, pada 2014-2016, proyek transportasi yang dikerjakan banyak di wilayah Jabodetabek. Namun pada 2016-2018 bergeser ke Jawa Tengah, Trans-Jawa, dan Indonesia Timur. “Kami mengikuti pergerakan pembangunan infrastruktur pemerintah.”
Selain fokus di angkutan barang-barang infrastruktur, PURA juga mengangkut produk konsumsi, industrial, dan finish good. “Kami bukan mengangkut produk dari produsen ke customer. Kami mengangkut dari pabrik ke gudang distributor nasional, jadi B2B,” katanya.
Mengingat luasnya wilayah Indonesia, Ariel meyakini bisnis yang digelutinya, yang terkait rantai pasok (supply chain), sangat prospektif. Terlebih dengan rencana pemerintah yang akan memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan Timur. Alhasil, langkah PURA melantai di bursa diyakininya sejalan dengan tumbuhnya perekonomian Indonesia yang menjanjikan.
“Memang saat ini (pertumbuhan nasional) melambat, karena masih fokus ke infrastruktur. (Namun) Kalau sudah jadi, tentu akan berlari. Maka, IPO ini diperlukan agar perusahaan kami siap, agar bisa ikut berlari dengan pemerintah,” katanya optimistis.
Ariel menjelaskan, dana yang diraih lewat IPO sebesar Rp 180 miliar ini akan digunakan untuk menunjang ekspansi, di antaranya membeli 205 kendaraan baru (145 unit di tahun 2020, plus 60 unit di tahun 2021). Hingga akhir 2019, PURA mengoperasikan 155 kendaraan. Kemudian, sebesar Rp 30 miliar digunakan untuk pengembangan TI.
Menurut Ariel, keunggulan kompetitif perusahaannya bukan hanya terletak pada jumlah armada, tetapi juga kualitasnya. Kendaraan mereka selalu baru, didukung TI dan SDM andal, serta manajemen yang rapi dengan penerapan ERP. “Perusahaan yang memiliki divisi distribusi, tapi masih menjadi cost center, bisa diahlihkan ke perusahaan kami,” katanya seakan berpromosi. Pasalnya, PURA menawarkan manajemen yang terintegrasi antara order, monitoring lapangan, dan back office sehingga cepat dan terukur.
Dengan ekspansi ini, harapannya tentu bukan saja PURA mengangkut barang lebih banyak, tetapi juga mengangkut harapan akan pendapatan yang semakin kinclong. Pada 2018 pendapatannya Rp 36 miliar dengan laba kotor Rp 16 miliar. Akhir 2019, pendapatan melonjak menjadi Rp 87 miliar dengan laba kotor Rp 20 miliar. Tahun ini, pendapatan ditargetkan Rp 188 miliar dengan laba kotor Rp 56 miliar.
Untuk mencapai target tersebut, Ariel menyampaikan strateginya. Pertama, menjaga inventory control. Kedua, mengukur produktivitas dan utilitas kendaraan melalui penyesuaian usia kendaraan dengan proyek yang akan diambil. Artinya, tidak memaksakan jarak trayek. “Kalau mau ambil proyek lintas Sumatera, harus dengan kendaraan yang baru,” ujarnya.
Yang menarik, dalam dua tahun ke depan, PURA juga akan mengembangkan distribusi dengan multimoda (kereta). “Saat ini porsi bisnis perusahaan 70% di bisnis transportasi infrastruktur, 25% di distribusi, dan 5% di finish goods,” ungkap pria kelahiran 37 tahun lalu ini.